Tuesday, December 16, 2014

Dhammacaka | Face to Face | Mei, 2009 | by Setiawan Liu


Bagaimana Mbak Dewi melihat permasalahan perceraian, baik dalam perspektif umum maupun dalam perspektif agama yang dianut?

Sebagaimana hal-hal yang barangkali dianggap “kurang menyenangkan” secara umum, seperti halnya perpisahan dan kematian, saya rasa manusia cenderung menghindari perceraian, meski kadang-kadang demikianlah kenyataan hidup yang perlu dihadapi. Saya pun sendiri seperti itu. Jika memungkinkan ya sebaiknya tidak berpisah, tidak bercerai, tapi jika memang itu yang perlu dihadapi, ya akhirnya hadapi saja. Pada prinsipnya, menurut saya, kita justru belajar dari yang pahit, bukan dari yang manis. Jadi pada hal-hal yang dianggap kurang menyenangkanlah justru batin kita punya kesempatan paling besar untuk bertumbuh. Jika saya kilas ke belakang, saya justru melihat saya telah memetik pelajaran yang sangat berharga. Jadi pada akhirnya saya melihat perceraian sebagai peristiwa hidup yang "biasa-biasa" saja, dalam arti: semua peristiwa hidup punya tujuan dan makna, mau itu perceraian atau bukan. Dan sebuah peristiwa jadi punya guna jika kita telah berhasil memetik pelajaran darinya. Dari apa yang saya ketahui, di Buddhisme sendiri perceraian bukanlah sesuatu momok menakutkan atau kutukan, melainkan sebuah fenomena. Sama halnya dengan segala fenomena dalam hidup ini. Tapi tentunya mengadopsi hal itu bukanlah hal yang mudah, karena secara riil kita hidup dalam kultur yang cenderung mengagungkan persatuan/pertemuan dan mengutuk perpisahan/perceraian. Sama seperti kita mengagungkan kelahiran dan menghindari kematian. Sementara dalam pemahaman Buddhisme, kelahiran dan kematian hanyalah fenomena dalam siklus tumimbal lahir yang keduanya netral-netral saja.

Ada beberapa hipotesis, baik dari kalangan umum maupun selebritis, bahwa ‘separate lives is a solution’ dalam arti adakalanya perpisahan/perceraian merupakan suatu solusi. Apa pendapat Mbak Dewi?

Saya rasa, dalam hidup, segala sesuatu dapat dipandang menjadi solusi. Bahkan hal paling ekstrem seperti kematian sekalipun. Karena kita hidup dalam realitas yang dualitas, setiap permasalahan pasti sudah datang bersama solusinya. Dan apakah solusi itu? Kita tidak pernah bisa tahu, sampai solusi itu benar-benar datang dan tiba secara nyata dalam hidup kita. Jadi, perceraian, perpisahan, kepergian, tentunya bisa menjadi sebuah solusi jika memang pas dengan konteks dan perspektifnya. Ini akan kembali ke pandangan dan belief system masing-masing orang. Jika mereka percaya bahwa perpisahan bukanlah solusi, yah mungkin mereka akan terus bertahan untuk bersama, meski sudah tersiksa luar biasa. Semata-mata karena bagi mereka, perpisahan bukanlah pilihan. Dan hal itu sah-sah saja, menurut saya.

Beberapa agama mempunyai doktrin mengenai perceraian. Dalam agama Buddha ‘perkawinan bukan sesuatu yang sakral, begitu pula perceraian’ – sementara beberapa doktrin agama lain, ‘perkawinan dan perceraian sama-sama sakral’ – lalu bagaimana pandangan Mbak Dewi Lestari?

Sejak lama, saya pun merasa bahwa pernikahan memang bukanlah segalanya. Tidak ada harga mati dalam hidup ini. Segalanya berubah dan tidak tetap. Sama seperti situasi langit yang terus berubah; kadang jernih, kadang berawan, kadang hujan, begitu jugalah hidup. Justru ketika kita mengharapkan sesuatu adalah abadi, sakral, tak bisa ditawar-tawar, kita mulai hidup dalam ketegangan batin dan ketidakbahagiaan. Namun bukan berarti kita juga jadi main-main menghadapi pernikahan, atau pun perceraian. Saya yakin, semua orang yang memasuki sebuah pernikahan atau pun memutuskan bercerai, pastilah itu sebuah keputusan serius, yang dipikirkan masak-masak. Tidak ada yang mengharapkan berpisah saat bertemu, tapi kenyataan hidup kan tidak ada yang bisa menduga arahnya. Dengan menjalankan sebaik-baiknya sebuah keputusan, apa pun itu, sekaligus menerima fakta dan hukum alam bahwa segalanya tidak ada yang permanen, kita jadi bisa lebih realistis dan tidak terlampau mencengkeram sesuatu. Meskipun sesuatu itu kita anggap baik dan penting.

Apakah perceraian dalam konteks ‘it is a solution’ – bisa digeneralisir (either case by case of person by person)?

Saya rasa tidak ada permasalahan yang benar-benar bisa digeneralisasi. Setiap permasalahan adalah unik, dan tentu solusinya pun unik. Walaupun mungkin ada kasus yang mirip-mirip, tak ada satupun dalam hidup ini yang identik. Jadi bagaikan semua individu di dunia ini, sebuah solusi pun sifatnya pasti unik dan individual.