Wednesday, December 17, 2014

Jakarta Java Kini | Profil Sastra | Desember, 2011 | by Chris Andre


Apa saja kesibukan Anda sekarang?

Menyelesaikan beberapa proyek menulis: tahap terakhir skenario film Perahu Kertas, mulai menulis Partikel, sekaligus mengedit ulang seri Supernova untuk cetak baru. Saya banyak kerja dari rumah, sih. Jadi kesibukannya nggak di luar rumah.

Kalau tidak salah, ada tulisan Anda yang diangkat menjadi film. Apa motivasi Anda untuk mau mencoba mentransformasi tulisan tersebut?

Film menjadi dunia baru bagi saya, dan itu tantangan yang cukup menarik. Dari sejak menulis Perahu Kertas, saya memang sudah membayangkannya menjadi film. Jadi rasanya sepantasnya saya mengantarkan kisah itu ke dalam bentuk skenario. Saya menganggap bahwa itu yang terbaik yang bisa saya lakukan untuk berperan dalam transisi novel Perahu Kertas ke dalam bentuk skenario. Untuk urusan lain-lainnya, sudah ada orang-orang yang ahli dalam bidangnya untuk menangani.

Jika harus mendeskripsikan gaya penulisan Anda sendiri, seperti apakah penjelasannya?

Jujur, nggak tahu. Saya rasa itu tugasnya kritikus sastra. Yang jelas, tema yang mendorong saya berkarya biasanya adalah tema spiritualitas, pencarian jati diri, dan ajakan untuk mempertanyakan ulang apa yang sudah kita yakini betul dalam hidup ini. Soal gaya penulisan, saya sadar saya punya ciri khas, tapi untuk membahasakan itu apa dan bagaimana, rasanya orang lain lebih pas untuk itu.

Boleh dibilang Anda merupakan salah satu penulis yang mewakili generasi yang sekarang. Seperti apakah generasi yang sekarang ini menurut kacamata Anda?

Saya rasa semua penulis mencerminkan zaman yang menjadi konteks kehidupannya. Jadi, kalau zaman berubah, otomatis apa yang akan kita dapatkan dalam sastra pun akan berubah. Sebatas apa yang saya amati, penulis generasi sekarang konteksnya banyak setting urban, modern, penggunaan bahasa yang lebih cair antara keseharian, lebih lentur dalam menyerap frase bahasa asing. Selain itu, tema "fiksi otobiografis" sepertinya cukup dominan.

Kira-kira apa arti dunia sastra saat ini bagi kalangan generasi tersebut?

Saya hanya bisa mereka-reka, dan sepertinya jawaban saya tidak bisa mewakili total realitas yang ada. Saya merasa generasi kini justru tak lagi tertarik dengan dikotomi sastra atau nonsastra. Saya sendiri nggak pernah memusingkan apakah karya saya termasuk sastra atau bukan, ngepop atau enggak, jadi ketika kemudian buku-buku saya menjadi referensi dalam pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah, saya cukup surprised. Soalnya saya merasa, saya ini penulis otodidak yang nggak pernah berangkat dari teori menulis maupun teori kritik sastra. Apa adanya saja. Buat saya ini cukup flattering.

Topik-topik apa saja yang sebenarnya perlu dibahas lebih lanjut di sastra di masa sekarang?

Tidak pernah ada kata "harus" dan "perlu" dalam sastra, bagi saya. Prinsip saya dalam berkarya sederhana, tulislah buku yang ingin kita baca. Dan yang dimaksud dengan "kita" tentunya adalah individu-individu yang beragam dan punya minat sendiri-sendiri. Saya cenderung membiarkan penulis menemukan "suara"-nya sendiri, yang berangkat dari minat pribadi yang otentik.

Untuk di Jakarta sendiri, menurut anda apa yang kurang untuk mendongkrak minat masyarakat terhadap sastra? Apakah teknologi yang lebih canggih? Toko buku lebih banyak?

Semuanya berperan serta. Dari mulai toko buku (fisik tokonya, pelayananannya), judul buku yang tersedia, dan juga teknologi yang mendukung pemasarannya, kesemuanya itu punya peranan dalam mendongkrak minat baca masyarakat. Menurut saya, gelombang tren juga punya peran penting. Jika sebuah judul mampu menciptakan atau berada dalam sebuah gelombang tren, otomatis masyarakat akan terdorong untuk membaca, dan itu bisa mendorong buku-buku lain secara umum juga ikut terdongkrak.

Adakah ambisi-ambisi personal dalam karier yang masih belum tercapai saat ini?

Saya ingin segera menuntaskan serial Supernova hingga bukunya yang ke-6. Tapi rasanya itu sudah bukan di level ambisi lagi, melainkan sudah dalam To-Do-List.

Siapa penulis Indonesia favorit Anda? Kenapa?

Sapardi Djoko Damono, beberapa bukunya pernah sangat mempengaruhi saya dalam menulis lirik dan dalam membuat irama kata. Seno Gumira Ajidarma, karena mampu membuat tulisan yang hidup. Ayu Utami, karena ketekunannya dalam mengulik bahasa.

Apa makanan kesukaan Anda?

Masakan Indonesia saya hampir suka semua. Terutama masakan Sunda, yang cenderung simpel tapi segar.