Wednesday, December 17, 2014

The Jakarta Globe | My Jakarta | Juli, 2010 | by Candra Malik


Anda seorang penyanyi sekaligus penulis yang produktif. Mana yang lebih awal Anda jalani?

Musik duluan. Saya mengawali karier musik dari umur 17 tahun (thn 1993). Awalnya menjadi backing vokal untuk Iwa K, P Project, Harvey Malaiholo, Java Jive, Chrisye, dan sebagainya. 

Apakah Anda mendapatkan dua kemahiran itu dari bakat yang turun di keluarga? Siapakah yang juga penyanyi dan/atau penulis di antara mereka?

Keluarga saya memang pencinta seni. Kakak saya, Imel, adalah seorang pianis/vokalis jazz profesional yang juga udah bikin album. Adik saya, Arina, adalah vokalis dari band Mocca. Kakak saya, Key, adalah seorang sutradara dan penulis skenario. Kalau yang menulis buku memang hanya saya. Kedua orang tua saya memang selalu mendorong kami untuk belajar musik sejak kecil. Ayah saya adalah seorang pencerita yang sangat baik, walaupun nggak nulis buku. Beliau juga senang bernyanyi dan bermusik meski otodidak. 

Saat ini, mana yang dorongannya lebih kuat dalam diri Anda: menyanyi atau menulis? Mengapa?

Dalam pengalaman saya, dorongan itu datang bergantian. Cuma sejak menulis Supernova tahun 2001, saya memang lebih intens menulis. Ada satu hal dalam dunia penulisan yang membuat saya lebih nyaman, yakni keleluasaan untuk rileks dan jadi diri sendiri. Menyanyi punya sisi glamor, sisi ‘nampil’, yang ternyata saya nggak selalu nyaman melakukannya. Saya senang rekaman dan membuat musik, tapi untuk performing saya nggak merasa punya semangat yang tinggi untuk itu. Selain itu, sejauh ini ide yang lebih sering muncul belakangan adalah ide menulis ketimbang musik. 

Anda memilih label indie untuk menerbitkan buku-buku, bahkan mendistribusikan sendiri buku-buku itu, dan terbilang sukses. Sudah berapa buku? Bagaimana ceritanya?

Sebetulnya saya cukup banyak bekerja sama dengan para penerbit selama ini, salah satunya yang masih bertahan hingga sekarang adalah GagasMedia dan Bentang Pustaka. Hanya seri Supernova (1-3) yang masih saya jalankan sendiri bersama Truedee Books. Awalnya sih bisa dibilang ‘kecelakaan’. Waktu itu saya punya manuskrip Supernova, dan saya nggak cukup pede untuk bawa ke penerbit. Teman saya ada yang mencoba, lalu katanya naskah tersebut harus antre dulu beberapa bulan, sementara target saya adalah menerbitkan Supernova sebagai hadiah ulang tahun bagi diri sendiri (Januari 2001). Ya sudah, akhirnya saya terbitkan sendiri. Dulu memang nggak kebayang ternyata animonya sebesar itu. 

Apa buku Anda yang, menurut Anda sendiri, paling spesial dan menunjukkan pencapaian tertentu? Siapa penulis atau tokoh yang memengaruhi Anda?

Agak susah memilih, karena setiap buku punya karakter tersendiri dan juga prestasi tersendiri. Secara historis sih ya tentu buku pertama, karena saya belajar banyak dari sana, baik sebagai penulis maupun sebagai penerbit. Saya mengagumi Ayu Utami dan Sapardi Djoko Damono. Buku Ayu, Saman, menjadi salah satu pendorong saya untuk berani menulis buku. Sementara dari Sapardi, saya banyak belajar tentang kreativitas, membuat metafora, dsb.

Sedangkan untuk album, sejak masih bersama grup RSD sampai akhirnya solo karier, mengapa Anda tak memilih jalur indie pula? 

Untuk RSD saya memang sejak awal sudah dibina oleh perusahaan rekaman yang mengontrak kami. Bahkan perusahaan rekaman tersebutlah (Warna Musik – Adjie Soetama/Adi Adrian) yang membentuk RSD pertama kali. Jadi memang jalurnya sudah seperti itu. Waktu solo karier, justru saya indie. Album solo saya pertama Out of Shell diproduksi sendiri, hanya distribusinya aja saya kerja sama dengan perusahaan distributor, karena saya nggak punya SDM untuk menjalankannya sendiri. Album kedua saya, Rectoverso, kebetulan bergabung dengan buku, jadi kasusnya agak lain. Tapi itu pun saya terlibat sebagai produser dan pemodal.

Anda berdarah Batak, lahir di Bandung, tinggal di Serpong, cari duit di Jakarta (Twitter said so ;p). Bagaimana Anda menjalani ini? Apa kesibukan Anda di Jakarta?

Hahaha... inget aja lagi. Bertahun-tahun saya memang bertahan di Bandung, walaupun teman-teman yang di industri sama sudah banyak yang pindah ke Jakarta karena memang lebih memudahkan. Tapi setelah anak saya, Keenan, masuk TK, saya mulai berpikir ulang. Soalnya, karena harus pulang-pergi terus, saya jadi sering ninggalin Keenan di Bandung, tapi kalau dia dibawa, dia sering bolos sekolah. Akhirnya saya “menyerah”, pindah ke Jakarta juga. Dan setelah menikah dengan Reza, yang orang Jakarta, ya semakin kuatlah alasan untuk tinggal di sini. Saya memilih tinggal di daerah suburb karena saya memang senang daerah yang masih hijau, tenang, relatif sepi. Di Bandung pun saya tinggalnya di daerah pegunungan. Tinggal di tengah kota nggak begitu cocok buat saya. Reza juga kebetulan prinsipnya sama. Hingga akhirnya kami memilih tinggal di BSD.

Ketika terjebak dalam kemacetan, apa hal yang paling produktif yang bisa Anda lakukan?

Meditasi.

Sebagai seorang Buddha, bagaimana Anda memahami meditasi dalam konteks kehidupan saat ini yang penuh gegap-gempita dan persaingan?

Sebetulnya, terlepas dari Buddhis atau bukan, untuk kehidupan zaman sekarang, saya ingin sekali menganjurkan ke semua orang untuk bermeditasi. Stimulasi eksternal di kehidupan modern ini begitu intens. Orang dipacu untuk terus cepat, instan, sibuk, dsb, makanya tingkat stres tinggi, penyakit degeneratif juga merajalela. Karena orang nggak lagi dibiasakan untuk ngerem dan berhenti. Meditasi adalah penyeimbang yang bisa bikin manusia modern tetap “waras”. Syukur-syukur bisa sampai pencerahan, haha! Tapi minimal untuk bisa berfungsi secara optimal, baik secara mental, emosional, dan fisik, meditasi sangat diperlukan. Bagi saya, meditasi bukan lagi sekadar unsur agama tertentu saja, tapi harusnya sudah menjadi bagian keseharian, sama halnya seperti kita berolahraga, atau makan. Kebanyakan orang sudah mulai melek dengan pola hidup sehat, makan sehat, dsb, tapi masih sedikit sekali orang yang memasukkan meditasi ke dalam kebutuhan keseharian. Bahkan di kalangan Buddhis sekalipun, praktisi meditasi masih menjadi minoritas.

Di Jakarta dan sekitarnya, apakah Anda mengalami kesulitan untuk berbelanja kebutuhan vegetarian? Anda memasak sendiri? Dari mana memperkaya menu-menu dan mendapat resep-resepnya?

Karena sekarang ini saya lagi hobi masak, otomatis jadi lebih sering bikin makanan sendiri. Nggak sulit sih, walaupun nggak banyak toko yang jual bahan vegetarian, tapi karena sedikit itulah networkingnya justru malah bagus. Ada direktori khusus yang bisa dicari di internet untuk petunjuk restoran/toko bahan vegetarian. Di BSD aja ada beberapa. Kalo menu dan resep saya modifikasi sendiri dari resep-resep nonvegetarian. Dan sebetulnya makanan Indonesia asli banyak yang vegetarian friendly. Apalagi di sini tahu tempenya murah dan enak.

Bagaimana Anda pertama kali meyakinkan orang lain bahwa vegetarian adalah pilihan hidup yang sehat dan mengasyikkan?

Kalau saya nggak pernah meyakinkan siapa pun. Apa pun yang saya jalankan dan rasakan manfaatnya, saya share sebisa saya. Entah itu lewat artikel, twit, atau blog. Kalau ada yang tertarik ya syukur, kalau enggak ya nggak apa-apa.

Jika Anda diminta memilih, lebih suka Dee yang ketika remaja atau Dee yang sekarang? Mengapa? Apa pula yang Anda sesali dari masa lalu?

Saya senang Dewi yang hari ini. Karena Dewi yang dulu sudah nggak ada. Setiap orang berubah hari bahkan setiap saat. Kalau saya bertahan atau terikat pada Dewi yang dulu, nggak akan bisa menikmati hari ini. Apa yang terjadi di masa lalu membentuk saya apa adanya hari ini. Hargai sejarah, jalani hari ini, dan siapkan masa depan, secara proporsional (kebanyakan planning juga stres, hehe). Itu prinsip saya.

Anda sering mondar-mandir Jakarta-Bandung. Bagaimana respon Anda ketika KA Parahyangan yang legendaris itu akhirnya distop operasionalnya? Mana yang paling Anda suka: naik kereta itu, travel, bis, atau berkendara sendiri Jakarta-Bandung? 

Perkembangan zaman kan nggak bisa dibendung. Sejak ada Cipularang, otomatis orang akan lebih menemukan kenyamanan dan keleluasaan untuk bepergian Jakarta-Bandung. Jadi yah wajar-wajar aja kalau terjadi perubahan. Tentunya sebagai bagian dari memori, saya trenyuh juga dengan tiadanya lagi KA Parahyangan. Tapi sebagai bagian dari perubahan itu sendiri, ya diterima saja. Saya lebih suka berkendara sendiri (pakai sopir), karena lebih fleksibel. Nomor duanya, saya memilih travel. 

Membaca peta Jakarta dan sekitarnya, menurut Anda, bagian mana di ibukota dan kota-kota satelitnya yang masih punya harapan ditata ulang agar semenarik dan sehijau Bandung?

Bukan karena saya tinggal di BSD ya, tapi menurut saya BSD punya peluang ke arah sana (meski Bandung jangan lagi dijadikan barometer karena sudah tidak semenarik dan sehijau dulu). BSD menurut saya planning kotanya cukup matang, penghijauannya cukup bagus, tinggal tunggu pohonnya besar-besar. Yang masih perlu digarap adalah konsep green living. Lebih bagus lagi kalau di BSD ada semacam sentra pengolahan untuk sampah organik, pusat daur ulang, dan juga upaya-upaya imbauan dan insentif untuk listrik tenaga solar, penampungan air hujan, dsb.