Monday, December 15, 2014

Wawancara Skripsi Part 1 | Mei, 2007 | by Diah Ismawardani


AWAL MENULIS & PROFESI PENULIS

Sejak kapan Anda mulai mengenal dan tertarik pada dunia tulis menulis?

Sejak kecil, seingat saya sejak kelas 5 SD, umur saya 9 tahun waktu itu. Saya memulai dengan menulis cerita di buku tulis, judulnya “Rumahku Indah Sekali”, bercerita tentang seorang anak perempuan yang mendamba kuda poni. Saya menulis tanpa berhenti, dan sangat asyik dengan segala prosesnya, sejak itu saya tahu saya jatuh cinta pada dunia fiksi.

Sejak kapan mulai menekuninya secara intensif?

Sejak saya menulis “Rumahku Indah Sekali”, saya terus berkarya. Temanya, ya, sesuai umur. Waktu SMP misalnya, mulai bikin cerpen cinta. Waktu SMA mulai membuat artikel yang lebih reflektif, membuat koran sekolah. Waktu kuliah mulai membuat novel dengan tema lebih dewasa. Intinya, proses menulis saya memang tidak pernah berhenti, hanya saja tidak pernah dipublikasi jadi tidak banyak orang tahu. Hanya untuk kalangan terbatas saja, teman-teman atau keluarga.

Bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi penulis seperti sekarang?

Tahun 2000, saya mulai membuat draf Supernova. Waktu itu niat saya ingin membuat novel dengan tema spiritualitas, tapi dikemas dalam fiksi bertema cinta, ada sainsnya, ada puisinya, pokoknya eklektik—sesuai dengan minat saya yang beragam. Ketika draf itu selesai, seketika intuisi saya mengatakan bahwa Supernova akan menjadi buku pertama saya yang dipublikasikan. Dan saya iseng-iseng bertekad untuk meluncurkannya tepat saat ulang tahun saya yakni 20 Januari 2001. Karena waktu yang mepet, dan saya dengar dari beberapa sumber bahwa naskah yang masuk ke penerbit biasanya harus menunggu lama, akhirnya saya putuskan untuk mencetak sendiri demi mengejar deadline ultah tadi. Dan begitu Supernova dipublikasi, ternyata gaungnya sangat besar, jauh dari dugaan saya. Akhirnya, saya pun tergiring untuk menjadi penulis profesional, hingga sekarang.

Apakah orangtua Anda memiliki darah penulis sehingga berpengaruh pada Anda?

Sepertinya tidak secara langsung. Yang jelas, ayah saya seorang pencerita yang luar biasa, dan ibu saya orangnya sangat sistematis. Mungkin gabungan keduanya menghasilkan saya yang seperti ini. Mungkin. Tapi yang jelas, orang tua saya bukan penulis. 

Siapa penulis yang Anda kagumi? Penulis asing dan luar negeri? Mengapa?

Sapardi Djoko Damono – karena metaforanya yang luar biasa. Ayu Utami – menurut saya dia penulis yang sangat detail dan rapi. Seno Gumira Ajidarma – karena dia mampu mengetengahkan tema-tema segar namun masih dengan napas sastra yang kental. Ana Castillo – tulisannnya sangat romantis, deskriptif dan menyentuh. Dave Eggers – karena penuturannya lucu, cerdas, otentik, dan tak terduga. Rattawut Lapcharoenshap (penulis Thailand yang tinggal di Amerika) – seorang pengamat dan pencerita yang luar biasa.

Dari sekian banyak buku yang Anda baca buku apa yang memberikan pengaruh besar dalam kehidupan Anda sebagai penulis?

Hujan Bulan Juni (Sapardi Djoko Damono), Saman (Ayu Utami), Peel My Love Like An Onion (Ana Castillo), Sightseeing (Rattawut Lapcharoenshap), The Heartbreaking Work Of A Staggering Genius (Dave Eggers).

Menurut Anda apakah di Indonesia orang bisa hidup hanya dengan hanya mengandalkan kemampuan menulisnya? Dengan kata lain apakah menulis bisa dijadikan sebagai satu-satunya mata pencaharian?

Rata-rata penulis di Indonesia memiliki profesi sampingan, entah sebagai dosen, jurnalis, seniman, dll. Jarang ada yang benar-benar mengandalkan menulis saja. Tapi sebetulnya bisa saja, selama bukunya laku. Dan penulis tersebut berkomitmen untuk terus berkarya. Karya ini tidak hanya berupa buku yang diterbitkan, bisa juga membuat artikel untuk majalah, cerbung di koran, memberi pelatihan kepenulisan, bikin skenario (kalau berminat), dsb. Jadi si penulis sendiri harus kreatif untuk mengolah pasar. 

Bisakah Anda menceritakan suka dan duka Anda selama menulis? 

Sukanya, saya ketemu banyak orang-orang hebat, sesama penulis, para pembaca kritis, yang kesemuanya memberikan saya motivasi dan inspirasi. Dukanya, waktu pertama kali dikritik karena belum biasa, jadi masih dimasukkan ke hati. Saya pernah kirim cerpen ke majalah waktu SMP dulu, dan nggak diterima, jadi sempet kecewa juga. Duka lainnya, kadang-kadang kalau promo buku yang sudah sangat intensif, dan harus ngomong hal yang sama berulang-ulang, jenuh juga. Kadang-kadang promo buku sangat menyita waktu sehingga saya malah jadi tidak sempat berkarya untuk buku selanjutnya. 

Berapa jumlah honor yang pertama kali Anda dapat? 

Lupa. Sepertinya waktu cerpen saya Rico de Coro dimuat di majalah Mode, saya dapat honor, tapi lupa lagi, sepertinya sekitar 250 ribu. Tapi esai saya pernah jadi juara di majalah remaja, dan dapat hadiah 750 ribu plus wisata ke Lombok. 

Bisa diceritakan pengalaman-pengalaman unik Anda selama menjadi penulis? 

Wah. Terlalu banyak. Tapi promo Supernova 1 adalah masa-masa paling melelahkan sekaligus mendatangkan begitu banyak pengalaman bagi saya. Waktu itu, dirata-rata, saya diskusi buku tiga hari sekali nonstop selama 4 bulan. Sangat-sangat melelahkan, tapi juga pengalaman yang saya dapat dari sana banyak sekali. Yang berkesan juga saat saya harus ikut festival penulis di Byron Bay, Australia, waktu itu saya masih menyusui anak saya yang umurnya 2 tahun, jadi belum bisa pisah. Sementara di Australia sedang musim dingin. Tapi akhirnya saya nekat bawa dia ikut festival selama seminggu, dan meskipun banyak tantangan tapi semuanya bisa dilewati dengan baik. 

Buku terakhir yang saya baca adalah kumpulan cerpen Anda “Filosofi Kopi” dan itu muncul tahun 2006, mengapa sekarang Anda jarang menerbitkan buku lagi? Terhalang oleh kesibukan apa? Dan buku apa yang akan Anda terbitkan dalam waktu dekat? 

Setiap penulis memiliki kecepatannya masing-masing, saya paling cepat memang membuat satu buku dalam satu tahun. Jadi, menurut saya pribadi, Filosofi Kopi merupakan pemenuhan target yang tepat, tidak termasuk dalam kategori ‘jarang’. Saya sibuk dengan keluarga dan pekerjaan yang mengharuskan saya banyak keliling dan ke luar kota.  Buku yang mau terbit Rectoverso, kumpulan cerpen plus lagu.

Bagaimana perkembangan karier menyanyi Anda? 

Sementara off dulu, mudah-mudahan dengan keluarnya Rectoverso—karena ada lagunya—saya bisa kembali menyanyi. 

Apakah Anda punya obsesi atau cita-cita yang belum terwujud? 

Kepingin menerbitkan Supernova dalam bahasa Inggris dan penerbitnya langsung dari luar Indonesia, jadi bukan penerbit lokal. 

Mana yang lebih menyenangkan, menulis atau menyanyi? Mungkin keduanya, namun mana yang akan Anda pilih jika Anda harus memilih satu di antaranya? 

Dua-duanya menyenangkan, tentu. Tapi menulis menurut saya adalah profesi yang lebih awet dan langgeng. 

Bagaimana peran keluarga dalam kehidupan Anda? 

Mereka adalah penopang dan rumah saya untuk berpulang. Peran mereka sangat besar, terutama dalam pendukung mental dan hati.


MINAT BACA & KEBIASAAN MEMBACA

Bagaimana tanggapan Anda tentang reading habit masyarakat Indonesia, khususnya pelajar, mahasiswa, dosen? 

Dibandingkan dulu, sebelum rezim Reformasi, karena kreativitas agak dibungkam, menurut saya minat baca juga agak lesu, karena materi bacaan yang ada di pasaran tidak terlalu banyak. Tapi sejak reformasi dan orang lebih bebas bersuara, makin banyak orang yang berani berkarya, dan masyarakat pun memiliki bahan bacaan baru, akhirnya penerbit pun semakin banyak. Jadi kalau saya lihat sekarang, sebetulnya ada peningkatan. Terbukti dari banyaknya penulis baru yang bermunculan, penerbit baru juga bermunculan, toko-toko buku baik yang besar maupun kecil tambah banyak, taman bacaan juga mulai menjamur. Tapi kalau dibandingkan dengan minat baca di negara-negara yang lebih maju, tentu saja Indonesia masih jauh ketinggalan. Terutama dari segi mutu bacaan itu sendiri. Jumlah semakin banyak, tapi masih seputar bacaan ‘ringan’. Tapi menurut saya tidak apa-apa, karena membaca sebagai sebuah kebiasaan juga butuh pelatihan dan proses, tidak bisa serta merta. Jadi, menurut saya ada harapan yang cukup cerah soal reading habit ini. 

Banyak orang yang beralasan tidak membaca buku atau media massa cetak karena harganya mahal. Menurut Anda? 

Menurut saya tidak terlalu beralasan. Buktinya orang-oranbg yang mengeluh buku mahal masih bisa beli pulsa buat SMS atau telepon. Menurut saya mereka yang mengeluh begitu kebanyakan masih belum mengapresiasi buku sebagai kebutuhan. Soal mahal atau tidak lebih cocok ditujukan untuk buku-buku sekolah, menurut saya ini yang paling pertama harus disokong oleh pemerintah dan masyarakat agar harga jualnya bisa murah karena menyangkut pendidikan dasar. Baru mungkin menyusul buku-buku ‘tersier’. Jadi kalau pun ada pergerakan ke arah buku murah, ya butuh proses juga. Pemerintah bisa memulai dengan memberikan subsidi, misalnya. Karena kalau bicara ongkos cetak dan harga kertas, kita akan bicara industri yang lebih makro lagi, dan ini sulit untuk dikendalikan. 

Bagaimana cara menurunkan harga buku dan media massa cetak? 

Tidak tahu. Hehe. Menurut saya paling mungkin adalah subsidi. Dan memperbanyak taman bacaan, sehingag mereka yang tidak mampu beli minimal tetap punya akses untuk mendapatkan info atau bacaan yang mereka mau.

Apakah Anda rutin membaca? 

Selagi ada waktu, saya pasti usahakan untuk membaca. 

Apakah membaca dan menulis adalah kebutuhan primer bagi Anda? 

Ya. Untuk menulis saya butuh bahan, inspirasi, aspirasi, dan itu saya dapatkan dari membaca. 

Berapa rupiahkah belanja buku dan bahan bacaan lainnya yang Anda keluarkan setiap bulan? 

Tidak tentu. Kalau memang ada satu tema tertentu yang lagi saya cari, bisa beli banyak buku dalam sebulan, bisa sampai jutaan rupiah. Jumlahnya tidak tentu. Kekerapannya juga tidak tentu. Tergantung kebutuhan.   

Apakah hubungan antara membaca dengan menulis? 

Membaca dan menulis bagi saya ibarat napas. Dengan menulis, kita mengembuskan napas, yakni berbagi isi hati dan pikiran kita bagi orang lain. Membaca, seperti menarik napas, kita menabung informasi, referensi, bahkan inspirasi, yang memperkaya diri kita dan tulisan kita. 

Seberapa besar pengaruh aktivitas membaca dan menulis terhadap diri seseorang? 

Orang yang banyak membaca dan menulis pastinya lebih kreatif, ekspresif, konstruktif, dan kaya wawasan, ketimbang yang tidak suka membaca dan menulis. 

Apakah Anda setuju apabila menulis dijadikan sebagai life skill para mahasiswa dan dosen? Bagaimana cara mendidik dan melatihnya? 

Bukan hanya mahasiswa dan dosen, tapi masyarakat pada umumnya. Caranya dengan meningkatkan minat membaca dan menulis, dengan merangsang kreativitas baik di sekolah maupun di rumah. Tidak ada cara lain. Semuanya harus bermula dari minat. Dan minat bisa ditumbuhkan hanya dengan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk seseorang bisa kreatif.


PROSES KREATIF  

Bagaimana proses kreatif Anda dalam menulis? Apakah Anda menulis berdasarkan ide Anda sendiri atau orang lain? 

Proses kreatif dalam menulis dimulai dengan mengamati. Yang diamati itu bisa apa saja, dan sangat luas. Dari mulai perasaan orang lain sampai perasaan sendiri, dari mengamati tingkah laku orang lain sampai mengamati tingkah laku sendiri. Ide bisa muncul dari mana saja. Yang penting kita harus perseptif, reseptif, dan sensitif. Saya jarang menulis dari ide orang lain secara bulat-bulat. Biasanya faktor eksternal lebih seperti pemancing saja, sisanya saya olah sendiri lewat proses permenungan saya sendiri. 

Tolong ceritakan bagaimana proses kreatif menulis Anda dengan rinci (cara menemukan ide, pengembangan ide, proses penulisan, pengiriman dst)? 

Pertama-tama, saya tidak tahu cara menemukan ide, karena menurut saya idelah yang menemukan saya. Pengembangan ide biasanya hadir seketika, ibarat benih, kalau benihnya bagus dan kebetulan pikiran saya beresonansi dengan ide tsb, akhirnya pikiran saya seolah-olah menjadi tanah yang subur bagi ide itu berkembang. Ide sih banyak, tapi belum tentu semua bertumbuh. Sisanya ya tinggal ditulis. Kadang-kadang ceritanya putus di jalan, kadang-kadang selesai. Kita terima saja apa adanya. Karena bisa saja sebuah ide ber-evolusi lagi menjadi karya yang benar-benar berbeda dari yang direncanakan. Kita tidak pernah tahu. Yang kita bisa lakukan hanya berusaha terus menuangkan. Pengiriman sih sudah masalah teknis. Kalau buat majalah ya dikirim, kalau mau diterbitkan ya cari penerbit. Karena kebanyakan saya menerbitkan sendiri, ya tinggal hubungi desainer untuk tata letak dan desain sampul, lalu menghubungi percetakan. Kalau sudah jadi, tinggal hubungi distributor untuk disebarluaskan.  

Dalam buku Hernowo yang berjudul Quantum Writing disebutkan bahwa menulis itu menyehatkan. Apakah Anda pernah merasakannya sendiri? 

Saya rasa menulis memang ada efek terapetik. Karena dalam menulis, kita berhadapan langsung dengan perasaan kita, pikiran kita, prosesnya seperti mengupas lapis demi lapis. Dan itu bisa menyehatkan karena kita bisa menumpangkan tumpukan perasaan ataupun pikiran kita dalam tulisan, seperti proses defrag kalau dalam komputer. Dan akibatnya kita bisa merasa lebih lega, karena berhasil mengeluarkan ‘tumpukan’ yang ada dalam diri kita dan mentransformasikannya dalam bentuk sebuah karya. 

Adakah hambatan-hambatan yang Anda rasakan pada saat menulis? 

Sekarang ini lebih ke hambatan waktu, karena kesibukan dan juga keluarga, saya susah menemukan waktu yang panjang untuk menulis. 

Apakah Anda menulis berdasarkan mood? 

Bisa iya, bisa tidak. Sekarang ini lebih berdasarkan pada tujuan. Kalau saya memang ada tujuan atau motivasi tertentu untuk menulis sesuatu, biasanya saya pasti akan selesaikan, apa pun hambatannya. Kalau dulu sewaktu menulis cuma jadi hobi dan bukan profesi, memang lebih banyak mengandalkan mood, kalau sekarang lebih kepada komitmen.

Selain dari pengamatan sehari-hari dari mana Anda mendapatkan ide yang orisinal? Membaca? Menulis? 

Mengamati. Merenung. Melamun. 

Dapatkah Anda menuliskan kiat dan tips kepada saya menjadi penulis hebat seperti Anda? 

Sederhana sebetulnya. Untuk menjadi penulis kita harus berani mencoba, berani gagal, dan berani sukses. Karena belum tentu semua orang bisa menangani beban dan konsekuensi yang dihadirkan oleh kesuksesan. Jadi seorang penulis harus siap dengan segala skenario, baik gagal maupun berhasil. Dan terus mencoba untuk berkarya, dan berkarya.

Bagaimana komentar anda tentang trilogi Supernova yang dibahas banyak orang, bahkan dijadikan judul skripsi? Jelas trilogi itu sangat sukses, dari mana Anda mendapatkan ide menulis Supernova? 

Sebetulnya Supernova itu heksalogi, jadi ada enam buku. Masih ada tiga lagi. Idenya berawal dari niat saya untuk menuliskan masalah spiritualitas dalam kemasan fiksi, karena selain masalah lingkungan, menurut saya dunia ini pun sedang mengalami krisis spiritualitas, terbukti dari banyaknya orang-orang yang masih saling membunuh atas nama agama, dan semua orang merasa paling benar. Menurut saya, gambaran kita mengenai Tuhan dan iman sangat menentukan keputusan-keputusan yang kita ambil dalam hidup. Karena itu saya mengetengahkan tema spiritualitas yang sifatnya universal dan holistik, karena dunia yang kita huni sekarang sudah sangat terpecah-pecah. Dan saya hanya ingin berbagi sudut pandang saja, syukur-syukur jika banyak yang terinspirasi, bahkan sepakat. 

Selain penulis buku, artikel atau cerpen Anda adalah penulis lagu, menurut Anda mana yang lebih sulit? 

Menulis lagu lebih sulit, karena ada melodinya, dan antara melodi dan lirik harus sejiwa. Lagu lebih mengandalkan momentum dan kreativitasnya lebih banyak di level hati dan rasa. Kalau artikel atau cerpen lebih banyak di level pikiran. Jadi proses pengerjaan dan intensitasnya berbeda. 

Bagaimana sensasi menulis lagu, novel, cerpen, puisi dan artikel? 

Berbeda-beda, tapi ujungnya sama, kalau karya itu selesai, kita merasa puas dan lega.

Menurut Anda kriteria tulisan yang bagus itu seperti apa? 

Tulisan yang jujur, otentik, berhasil menyampaikan maksud dan pesan si penulisnya, sekaligus memberikan inspirasi bagi para pembacanya.